BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengemasan pendidikan, pembelajaran, dan pengajaran sekarang ini belum
optimal seperti yang diharapkan. Hal ini terlihat dengan kekacauan-kekacauan
yang muncul di masyarakat bangsa ini, diduga bermula dari apa yang dihasilkan
oleh dunia pendidikan. Pendidikan yang sesungguhnya paling besar memberikan
kontribusi terhadap kekacauan ini.
Tantangan dunia pendidikan ke depan adalah mewujudkan proses demokratisasi belajar. Pembelajaran yang
mengakui hak anak untuk melakukan tindakan belajar sesuai karakteristiknya. Hal
penting yang perlu ada dalam lingkungan belajar yang demokratis adalah realness.
Sadar bahwa anak memiliki kekuatan disamping kelemahan, memiliki keberanian di
samping rasa takut dan kecemasan, bisa marah di samping juga bisa gembira.
Realness bukan hanya harus dimiliki oleh anak, tetapi juga orang yang
terlibat dalam proses pembelajaran. Lingkungan belajar yang bebas dan didasari
oleh realness dari semua pihak yang telibat dalam proses pembelajaran akan
dapat menumbuhkan sikap dan persepsi yang positif terhadap belajar.
Belajar dan mengajar adalah dua kegiatan yang tunggal tapi memang
memiliki makna yang berbeda. Belajar diartikan sebagai suatu perubahan
tingkah-laku karena hasil dari pengalaman yang diperoleh. Sedangkan mengajar
adalah kegiatan menyediakan kondisi yang merangsang serta mangarahkan kegiatan
belajar siswa/subjek belajar untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai
dan sikap yang dapat membawa perubahan serta kesadaran diri sebagai pribadi.
Menurut Arden N. Frandsen mengatakan bahwa hal yang mendorong seseorang
itu untuk belajar antara lain sebagai berikut:
a.
Adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas.
b.
Adanya sifat kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk maju.
c.
Adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru, dan
teman.
d.
Adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan usaha yang
baru, baik dengan koperasi maupun dengan kompetensi.
e.
Adanya ganjaran atau hukuman sebagai akhir dari pada belajar.
Secara luas
teori belajar selalu dikaitkan dengan ruang lingkup bidang psikologi atau
bagaimanapun juga membicarakan masalah belajar ialah membicarakan sosok
manusia. Ini dapat diartikan bahwa ada beberapa ranah yang harus mendapat
perhatian. anah-ranah itu ialah ranah kognitif, ranah afektif dan ranah
psikomotor. Akan tetapi manusia sebagai makhluk yang berpikir, berbeda dengan
binatang. Binatang adalah juga makhluk yang dapat diberi pelajaran, tetapi
tidak menggunakan pikiran dan akal budi. Ivan Petrovich Pavlov, ahli psikologi
Rusia berpengalaman dalam melakukan serangkaian percobaan. Dalam percobaan itu
ia melatih anjingnya untuk mengeluarkan air liur karena stimulus yang dikaitkan
dengan makanan. Proses belajar ini terdiri atas pembentukan asosiasi
(pembentukan hubungan antara gagasan, ingatan atau kegiatan pancaindra) dengan
makanan. Proses belajar yang digambarkan seperti itu menurut Pavlov terdiri
atas pembentukan asosiasi antara stimulus dan respons refleksif.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana konsep dasar teori belajar Behavioristik dan Konstruktivistik?
2.
Apakah
perbedaan antara responden Conditioning, Operant Conditioning, dan Observational
Learning?
3.
Bagaimana
implikasi dalam proses pembelajaran nyata di sekolah?
4.
Apa kecenderungan teori belajar yang seringkali di lakakukan oleh para guru di
kelas?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui prinsip-prinsip dari berbagai teori belajar dan pembelajaran.
2.
Untuk
mengetahui kelebihan dan kelemahan dari berbagai teori belajar dan pembelajaran.
3.
Mendiskusikan
aplikasi berbagai teori belajar dan pembelajaran dalam pelaksanaan tugas guru
dalam praktik.
4.
Untuk
mengetahui bagaimana cara menerapkan teori-teori belajar dalam pendidikan.
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat
dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Teoretis,
untuk mengkaji ilmu pendidikan khususnya dalam memahami implikasi pendidikan,
pembelajaran, pengajaran, prinsip-prinsip pembelajaran, dan perkembangan teori
pembelajaran.
2.
Praktis,
bermanfaat bagi:
a.
Para pendidik agar pendidik tidak salah persepsi tentang pendidikan,
pembelajaran, dan pengajaran, serta dapat menerapkan prinsip-prinsip
pembelajaran dan teori pembelajaran yang sesungguhnya.
b. Mahasiswa agar memahami
tentang pengertian, prinsip, dan perkembangan teori pembelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Teori Belajar Behaviorisme
Behaviorisme adalah teori perkembangan perilaku yang dapat diukur, diamati dan
dihasilkan oleh respons pelajar terhadap rangsangan. Tanggapan terhadap
rangsangan dapat diperkuat dengan umpan balik positif atau negatif terhadap
perilaku kondisi yang diinginkan. Hukuman kadang-kadang digunakan dalam
menghilangkan atau mengurangi tindakan tidak benar, diikuti dengan menjelaskan
tindakan yang diinginkan. Pendidikan behaviorisme merupakan kunci dalam
mengembangkan keterampilan dasar dan dasar-dasar pemahaman dalam semua bidang
subjek dan manajemen kelas. Ada ahli yang menyebutkan bahwa teori belajar
behavioristik adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai
secara konkret.
Premis dasar
teori belajar behavioristik menyatakan bahwa interaksi antara stimulus respons
dan penguatan terjadi dalam suatu proses belajar. Teori belajar behavioristik
sangat menekankan pada hasil belajar, yaitu perubahan tingkah laku yang dapat
dilihat. Hasil belajar diperoleh dari proses penguatan atas respons yang muncul
terhadap stimulus yang bervariasi.
Salah satu
teori belajar behavioristik adalah teori classical conditioning dari Pavlov
yang didasarkan pada reaksi sistem tak terkondisi dalam diri seseorang serta gerak refleks setelah menerima stimulus. Menurut Pavlov, penguatan
berperan penting dalam mengkondisikan munculnya respons yang diharapkan. Jika
penguatan tidak dimunculkan, dan stimulus hanya ditampilkan sendiri, maka
respons terkondisi akan menurun dan atau menghilang. Namun, suatu saat respons
tersebut dapat muncul kembali.
Sementara
itu, connectionism dari Thorndike menyatakan bahwa belajar merupakan proses
coba-coba sebagai reaksi terhadap stimulus. Respons yang benar akan semakin
diperkuat melalui serangkaian proses coba-coba, sementara respons yang tidak
benar akan menghilang. Akibat menyenangkan dari suatu respons akan memperkuat
kemungkinan munculnya respons. Respons yang benar diperoleh dari proses yang
berulang kali yang dapat terjadi hanya jika siswa dalam keadaan siap.
Teori
behaviorism dari Watson menyatakan bahwa stimulus dan respons yang menjadi
konsep dasar dalam teori perilaku haruslah berbentuk tingkah laku yang dapat
diamati. Interaksi stimulus dan respons merupakan proses pengkondisian yang
akan terjadi berulang-ulang untuk mencapai hasil yang cukup kompleks.
Ciri dari teori behavioristik adalah
mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan
peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan
pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan
kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang
diinginkan. Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku
siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil
belajar.
Dalam hal
konsep pembelajaran, proses cenderung pasif berkenaan dengan teori behavioris.
Pelajar menggunakan tingkat keterampilan pengolahan rendah untuk memahami
materi dan material sering terisolasi dari konteks dunia nyata atau situasi.
Little tanggung jawab ditempatkan pada pembelajar mengenai pendidikannya
sendiri.
1. Prinsip Dasar Behaviorisme
·
Perilaku
nyata dan terukur memiliki makna tersendiri, bukan sebagai perwujudan dari jiwa
atau mental yang abstrak
·
Aspek
mental dari kesadaran yang tidak memiliki bentuk fisik adalah pseudo problem
untuk sciene, harus dihindari.
·
Penganjur
utama adalah Watson : overt, observable behavior adalah satu-satunya subyek
yang sah dari ilmu psikologi yang benar.
·
Dalam
perkembangannya, pandangan Watson yang ekstrem ini dikembangkan lagi oleh para
behaviorist dengan memperluas ruang lingkup studi behaviorisme dan akhirnya
pandangan behaviorisme juga menjadi tidak seekstrem Watson, dengan
mengikutsertakan faktor-faktor internal juga, meskipun fokus pada overt
behavior tetap terjadi.
·
Aliran
behaviorisme juga menyumbangkan metodenya yang terkontrol dan bersifat
positivistik dalam perkembangan ilmu psikologi.
·
Banyak
ahli (a.l. Lundin, 1991 dan Leahey, 1991) membagi behaviorisme ke dalam dua
periode, yaitu behaviorisme awal dan yang lebih belakangan.
2. Teori Behavioristik
Teori
Behavioristik ada 3 yaitu:
a. Teori Responden Learning
Dari eksperimen
yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar,
diantaranya :
a)
Law of
Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara
simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan
stimulus lainnya akan meningkat.
b)
Law of
Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang
sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa
menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
b. Operant Conditioning
Dari eksperimen
yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung
merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
a)
Law of
operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus
penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
b)
Law of
operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat
melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan
perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa
yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang
sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa
didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer.
Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan
kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan
sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
c. Observational Learning atau Social-Cognitive
Learning
Teori belajar
sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori
belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar
lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang
Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond),
melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara
lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar
menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial
dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku
(modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui
pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan
perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
3. Analisis Tentang Teori Behavioristik
Kaum
behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah
laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang
pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka
behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan
menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu.
Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai
yang komplek.
Pandangan
teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari
semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap
perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti
Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program
pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta
mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program
pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori
behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi
belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan
pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus
dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang
terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan
behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi
pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan
ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan
pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu
pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat
kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon
yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau
perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori
behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar
merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau
mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas
berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses
belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.
Skinner dan
tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan
digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut
dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar
untuk berpikir dan berimajinasi.
Menurut
Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada
beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
·
Pengaruh
hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.
·
Dampak
psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si
terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
·
Hukuman
yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk)
agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si
terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan
yang diperbuatnya.
Skinner
lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif
tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus
diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang
sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar
respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pelajar perlu dihukum
karena melakukan kesalahan. Jika pelajar tersebut masih saja melakukan
kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak
mengenakkan pelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah
ditambah) dan pengurangan ini mendorong pelajar untuk memperbaiki kesalahannya,
maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah
penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat
respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat
negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.
4. Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran
Aliran
psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan
teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran
behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak
sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus
responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon
atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata.
Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan
menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi
teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal
seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar,
media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan
berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif,
pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi,
sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah
memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pelajar.
Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga
makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh
karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pelajar diharapkan akan memiliki
pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang
dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian
halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu
membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para
pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan
standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para
pelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pelajar diukur hanya pada
hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak
teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi
dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan
ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan
mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut
bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga
terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pelajar kurang mampu untuk
berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori
behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur,
maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang
jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin
menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak
dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam
penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan
keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang
pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu
keberhasilan belajar. Pelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku
sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang
berada di luar diri pelajar.
Tujuan
pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut
pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam
bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan
pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari
bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat,
sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib
dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku
wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi
menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya
menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang
benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan
guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya.
Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan
pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran.
Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.
Ada beberapa tokoh teori behavioristik. Tokoh-tokoh aliran
behavioristik tersebut antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin
Guthrie, dan Skinner. Karya-karya para tokoh aliran
behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran adalah
sebagai berikut:
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan
respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti
pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera.
Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar,
yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan
tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat
diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran
behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan
bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike
ini disebut pula dengan teori koneksionisme.
Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum
efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan. Ketiga hukum ini menjelaskan
bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.
Watson
mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon,
namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan
dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental
dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor
tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat
diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang
belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang
sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat
diamati dan diukur.
B. Konsep Dasar Teori Belajar Konstruktivisme
Pandangan
konstruktivis mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha memberi makna oleh
siswa terhadap pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju kepada
pembentukan struktur kognitifnya. Proses belajar sebagai usaha pemberian makna
oleh siswa kepada pengalamnnya melalui proes asimilasi dan akomdasi, akan
membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang menuju kepada kemutakhiran struktur
kognitifnya. Guru-guru konsytruktivistik yang mengakui dan menghargai dorongan
diri manusia/ siswa
untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, kegaiata pembelajaran yang
dilakukannya akan diarahkan agar terjadi aktivitas konstruksi pengetahuan oleh
siswa secara optimal.
Konstruktivisme
merupakan teori belajar dari piaget. Konstruktivisme juga bagian dari teori
kognitif. Teori konstruktivisme dikembangkan oleh Piaget pada pertengahan abad
20. Konstruktivisme adalah sebuah gerakan besar yang memiliki posisi filosofis
sebesar strategi pendidikan. Konstruktivisme sangat berpengaruh di bidang
pendidikan, dan memunculkan metode dan strategi mengajar baru.
a. Teori Belajar Kontruktivisme Jean Piaget
Jean piaget
adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat kontruktivisme, yang teori
pengetahuannya dikenal dengan adaptasi kognitif. Manusia berhapadan dengan
tantangan, pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang harus ditanggapi secara
kognitif (mental). Untuk itu, manusia harus mengembangkankan skema pikirannya
lebih umum atau rinci, atau perlu perubahan, menjawab dan menginterpretasikan pengalaman-pengalaman
tersebut.
Piaget
(1967, 1970) mengembangkan konsep dan metode teori dasar untuk mengkaji proses
kognitif. Teori dan penelitian Piaget (1967) mengenai perkembangan kognitif
menyarankan bahwa anak-anak tumbuh melalui beberapa tingkatan (stages) yang
berbeda dalam perkembangan kognitif dan bayi sampai dewasa. Menurut Piaget
tingkat pertama perkembangan kognitif membangun fondasi untuk perkembangan
konsepual dalam tindakan, dimulai dengan tindakan sensori motorik dan refleksi.
Tingkatan selanjutnya membangun tingkat kognisi yang lebih tinggi pada skema
yang terbentuk sebelumnya. Piaget menawarkan statement ringkas pada teorinya
tentang meaning making: “otak mengorganisasi dunia dengan mengorganisasi
dirinya”. (Piaget, 1937/1971, hlm.311).
Selain itu,
Piaget juga berpendapat bahwa pada dasarnya setiap individu sejak kecil sudah
memiliki kemampuan untuk menngkontruksi pengetahuannya sendiri. Pengethuan yang
dikonstruksi oleh anak sebagai subjek, maka akan menjadi pengetahuan yang
bermakna; sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui pemberitahuan
tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. pengethauan tersebut hanya untuk
diingat sementara setelah itu dilupakan.
Menurut
Piaget, mengkonstruksi pengetahuan dilakukan melalui proses asimilasi dan
akomodasi. Proses merespon lingkungan sesuai dengan struktur kognitif seseorang
dinamakan assimilation (asimilasi), yakni sejenis pencocokan atau penyesuaian
antara struktur kognitif dengan lingkungan fisik. Struktur kognitif yang eksis
pada momen tertentu akan dapat diasimilasikan oleh organisme. Misalnya, jika
skema mngisap, menatap, menggapai, dan memegang sudah tersedia bagi si anak,
maka segala sesuatu yang dialami anak akan diasimilasikan ke skemata itu. Saat
struktur berubah maka anak mungkin bisa mengasimilasikan aspek-aspek yang
berbeda dari lingklungan fisik. Skema yang dimaksud oleh Piaget dalam hal ini
adalah potensi umum untuk melakukan satu kelompok prilaku. Skema adalah istilah
yang amat penting dalam teori piaget. Suatu skema dapat dianggap sebagai elemen
dalam struktur kognitif organisme. Skemata (istilah jamak dari skema) yang ada
dalam organisme akan menentukan bagaimana ia akan merespon lingkungan fisik.
Jelas, jika
asimilasi adalah satu-satunya proses kognitif, maka tak akan ada perkembangan
intelektual sebab organisme hanya akan mengasimilasikan pengalamnnya ke dalam
struktur kognitif. Namun, proses penting kedua menghasilkan mekanisme untuk
perkembangan intelektual yaitu accomodation (akomodasi), proses memodifikasi
struktur kognitif.
Setiap
pengalaman yang dialami seseorang akan melibatkan asimilasi dan akomodasi.
kejadian-kejadian yang berkoresponden dengan skemata oragnisme membutuhkan
akomodasi. Jadi, semua pengalaman melibatkan dua proses yang sama-sama penting:
pengenalan atau mengetahui, yang berhubungan dengan asimilasi dan akomodasi,
yang menghasilkan modifikasi struktur kognitif. modifikasi ini dapat disamakan
dengan proses belajar. dengan kata lain, kita merespon dunia berdasarkan
pengalaman yang kita alami sebelaumnya. Aspek unik dari pengalaman ini menyebabkan
perubahan dalam struktur kogniti (akomodasi). Akomodasi karenanya menyediakan
sarana utama bagi perkembangan intelektual.
b. Jhon Dewey dan Von Graselfeld.
Jhon Dewey
dan Von Graselfeld. Dalam hal ini seperti dikemukakan oleh Robert B. Innes (2004:1)
bahwa “Constructivist views of learning include a range of theories that share
the general perspective that knowledge is constructed by learners rather than
transmitted to learners. Most of these theories trace their philosophical roots
to John Dewey”. Maksudnya adalah bahwa pandangan penganut konstruktivisme
mengenai belajar meliputi serangkaian teori yang membagi perespektif umum bahwa
pengetahuan dikonstruksi oleh pembelajar bukan ditransfer ke pembelajar.
Kebanyakan dari teori seperti ini berakar dari filsafat Jhon Dewey.
Dalam hal ini
seperti dikemukakan oleh Robert B. Innes bahwa “Constructivist views of
learning include a range of theories that share the general perspective that
knowledge is constructed by learners rather than transmitted to learners. Most
of these theories trace their philosophical roots to John Dewey”. Maksudnya
adalah bahwa pandangan penganut konstruktivisme mengenai belajar meliputi
serangkaian teori yang membagi perespektif umum bahwa pengetahuan dikonstruksi
oleh pembelajar bukan ditransfer ke pembelajar. Kebanyakan dari teori seperti
ini berakar dari filsafat Jhon Dewey.
Dewey
menjelaskan bahwa manusia tidak selayaknya dibagi ke dalam dua bagian, satunya
emotional dan yang lainnya intelektual, yang satunya materi nyata, lainnya imajinatif. Pembagian seperti ini
sesungguhnya seringkali membangun, tetapi hal itu selalu karena metode yang
salah dalam pendidikan. Sebenarnya dan biasanya, personalitas berkerja sebagai
keseluruhan. Tidak ada integrasi karakter dan otak kecuali ada penyatuan
intelektual dan emosional, makna dan nilai, kenyataan dan imajinasi yang
berjalan diluar kenyataan menuju kecendrungan terhadap kemungkinan yang
diinginkan.
Dewey
memperkenalkan bahwa struktur internal pengetahuan dan hubungannya dengan
bagian masalah adalah dasar dalam pengembangan pengetahuan yang berguna.
Orientasi terhadap pembelajaran untuk belajar ketimbang mengumpulkan
pengetahuan difasilitasi dengan memfokuskan tentang apa yang oleh Brown dan
Campione (1996) sebut “big ideas and deep principles” (ide-ide besar dan
prinsip yang dalam)”. Kontruktivisme menyakini bahwa belajar mencakup proses
pengetahuan yang lebih mendalam ketimbang menghafalkan materi. Belajar meliputi
restruktur atau menciptakan keterhubungan dari sistem yang terintegrasi
(misalnya, menciptakan atau memodifikasi skema dengan suatu cara yang memiliki
efek yang kuat tentang apa yang diperhatikan dan dipelajari dari hal tersebut.
Prinsip dasar
yang mendasari filsafat konstruktivis adalah bahwa semua pengetahuan
dikonstruksikan (dibangun) dan bukan dipersepsi secara langsung oleh indera
(pemciuman, penglihatan, perabaan,…). Seperti dikatakan oleh Von Glasersfeld
(1984), salah satu pendiri gerakan konstruktivis, bahwa konstruktivisme berakar
pada asumsi bahwa pengetahuan, tidak peduli bagaimana pengetahuan itu
didefinisikan, terbentuk di dalam otak manusia, dan subjek yang berpikir tidak
memiliki alternatif selain mengkonstruksikan apa yang diketahuinya berdasarkan
pengalamannya sendiri. Semua pikiran kita didasarkan oleh pada penglaman kita
sendiri, dan oleh karenanya bersifat subjektif.
1. Proses Belajar Menurut Teori
Konstruktivisme
Menurut cara
pandang teori konstruktivisme bahwa belajar adalah proses untuk membangun
pengetahuan melalui pengalaman nyata dari lapangan. Artinya siswa akan cepat
memiliki pengalaman jika pengetahuan itu dibangun atas dasar realitas
yang ada di dalam masyarakat. Penekanan teori konstruktivisme bukan pada
membangun kualitas kognitif, tetapi lebih pada proses untuk menemukan teori
yang dibangun dari realitas lapangan.
Belajar
bukanlah proses tekonologisasi (robot) bagi siswa, melainkan proses untuk
membangun penghayatan terhadap suatu materi yang disampaikan sehingga proses
pembelajaran tidak hanya meyampaikan materi yang bersifat normatif (tekstual) tetapi
juga harus juga menyampaikan materi yang bersifat kontekstual.
Teori
konstruktivisme membawa implikasi dalam pembelajaran yang harus bersifat
kolektif atau kelompok. Proses sosial masing-masing siswa harus diwujudkan. C.
Asri Budiningsih menyatakan bahwa keberhasilan belajar sangat ditentukan oleh
peran sosial yang ada pada diri siswa. Dalam situasi sosial akan terjadi
situasi saling berhubungan, terdapat tata hubungan, tata tingkah laku dan sikap
di antara sesama manusia. konsekuensinya, siswa harus memiliki keterampilan
untuk menyesuaikan diri (adaptasi) secara tepat.
Dalam kaitannya
dengan ini, Bettencourt (1989) mengemukakan bahwa ada tiga penekanan dalam
teori belajar kontruktivisme yaitu:
·
Peran katif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan
secara makna.
·
Pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam
pengkonstruksian secara bermakna.
·
Mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru
yang diterima.
Peran guru
dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah lebih sebagai
fasilitator atau moderator. Artinya guru bukanlah satu-satunya sumber belajar
yang harus selalu ditiru dan segala ucapan dan tindakannya selalu benar, sedang murid sosok manusia yang bodoh, segala
ucapan dan tindakannya tidak selalu dapat dipercaya atau salah. Proses pembelajaran
seperti ini, cendrung menempatkan siswa sebagai sosok manusia yang pasif,
statis dan tidak memiliki kepekaan dalam memahami persoalan.
Sebagai
fasilitator, guru berperan dalam memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa
dalam kegiatan proses pembelajaran. Agar dapat melaksanakan peran sebagai
fasilitator dalam proses pembelajaran, Sanjaya berpendapat bahwa ada beberapa
yang harus dipahami, khususnya hal-hal yang berhubungan dengan pemanfaatan
berbagai media dan sumber pembelajaran yaitu:
1.
Guru
perlu memahami berbagai jenis media dan sumber belajar beserta fungsi
masing-masing media tersebut. Pemahaman akan fungsi media tersebut diperlukan,
belum tentu semua media cocok digunakan untuk mengajarkan semua semua bahan
pelajaran. Setiap media memiliki karakteristik tersendiri.
2.
Guru
perlu mempunyai keterampilan dalam merancang suatu media. Dengan perancangan
media yang dianggap cocok akan memudahkan proses pembelajaran, sehingga akan
tercapai secara optimal.
3.
Guru
dituntut untuk mampu mengorganisasikan berbagai jenis media serta dapat
memanfaatkan berbagai sumber belajar.
4.
Guru
dituntut agar mempunyai kemampuan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan
siswa. Kemampuan berkomunikasi secara efektif dapat memudahkan siswa menangkap
pesan sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar mereka.
Posisi siswa
dalam pembelajaran menurut falsafah atau teori konstruktivisme adalah siswa
harus aktif, kreatif dan kritis. konsekuensi utamanya guru sebelum memberikan
materi pembelajaran harus mengetahui kemampuan awal siswa, jangan siswa dalam
belajar berawal dari pemhaman yang kosong.
Peran guru dan
siswa dalam pembelajaran konstruktivtistik harus diubah. Dalam hal ini, guru
atau pendidik berperan sebagai seseorang yang berperan memberdayakan seluruh
potensi siswa agar siswa mampu melaksanakan proses pembelajaran. Guru bertugas
tidak mentransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan berusaha
memberdayakan seluruh potensi dan sarana yang dapat membantu siswa untuk membentuk
pengetahuannya sendiri.
Menurut Muchith
(2008:74) bahwa secara rinci peran guru perlu dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
1. Mampu membangun atau menumbuhkan semangat atau jiwa kemandirian dengan cara
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil inisiatif dalam memahami
pengetahuan atau teori.
2. Mampu membangun
atau memimbing siswa dalam memahami pengetahuan dan mampu berprilaku atau
bertindak sesuai dengan kenyataan yang ada dalam realitas masyarakat.
3. Mengkondisikan atau mewujudkan sistem pembelajaran yang mendukung kemudahan
belajar bagi siswa sehingga mempunyai peluang optimal berlatih untuk memperoleh
kompetensi.
Sementara itu,
peran siswa menurut pandangan konstruktivisme bahwa siswa dalam proses
pembelajaran harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep
dan memberikan makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Paradigma
konstruktivisme memandang bahwa siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki
kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Siswa dipahami pribadi yang
memiliki kebebasan untuk membangun ide atau gagasan tanpa harus diintervensi
oleh siapapun, siswa diposisikan manusia dewasa yang sudah memiliki modal awal
pengetahuan.
2. Aspek-aspek Pembelajaran Konstruktivistik
Fornot
mengemukakan aaspek-aspek konstruktivitik sebagai berikut: adaptasi (adaptation),
konsep pada lingkungan (the concept of envieronmet), dan pembentukan
makna (the construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut oleh J.
Piaget bermakna yaitu adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses
yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi
adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep
ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam
pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan
dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah
ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan
perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah
salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri
dengan lingkungan baru perngertian orang itu berkembang.
Akomodasi,
dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat
mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai.
Pengalaman yang baru itu bias jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang
telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi
terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau
memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi
Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi.
Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap
lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan (disequilibrium). Akibat
ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang
ada yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan
intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan
ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi
bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih
tinggi daripada sebelumnya.
Tingkatan
pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotskian disebutnya sebagai scaffolding.
Scaffolding, berarti membrikan kepada seorang individu sejumlah besar
bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan
tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung
jawab yang semakin besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang
diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan
masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky
mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan
permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai keberhasilan dengan baik, (2) siswa
mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal meraih keberhasilan. Scaffolding,
berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya mencapai
keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang
yang lebih tinggi menjadi optimum.
Konstruktivisme
Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar
individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses
dalam kognisi diarahkan memalui adaptasi intelektual dalam konteks social
budaya. Proses penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan
secara intra individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam
hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada penerapan
teknik saling tukar gagasan antar individual.
Dua prinsip
penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah: (1), mengenai fungsi dan
pentingnya bahasa dalam komunikasi social yang dimulai proses pencanderaan
terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan,
(2) zona of proximal development. Pembelajar sebagai mediator memiliki
peran mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan,
pengertian dan kompetensi.
Sumbangan
penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran
sosiakultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek
internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan
social pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, funsi kognitif manusia berasal
dari interaksi social masing-masing individu dalam konteks budaya. Vygotsky
juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas
yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan
kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development
mereka. Zona of proximal development adalah daerah antar tingkat
perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan
masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan
sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman
sebaya yang lebih mampu.
Pengetahuan
dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara social dalam dialog
dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah
dialog antar pribadi.dalam hal ini pebelajar tidak hanya memerlukan akses
pengalaman fisik tetapi juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh
individu lain. Pembelajaran yang sifatnya kooperatif (cooperative learning)
ini muncul ketika siswa bekerja sama untuk mencapai tujuan belajar yang
diinginka oleh siswa. Pengelolaan kelas menurut cooperative learning
bertujuan membantu siswa untuk mengembangkan niat dan kiat bekerja sama dan
berinteraksi dengna siswa yang lain. Ada tiga hal penting yang perlu
diperhatikan dalam pengelolaan kelas yaitu: pengelompokan, semangat kooperatif dan penataan kelas.
Pengetahuan
berjenjang tersebut dapat digambarkan seperti pada skema berikut:Secara singkat
teori Peaget dan Vygotsky dapat dikemukakan dalam table berikut ini.
Pembelajaran
konstruktivistik dan pembelajaran behavioristik yang dikemukakan oleh Degeng
dapat dilihat pada table-tabel berikut:
a)
Pandangan
Konstruktivistik dan behavioristik tentang belajar dan pembelajaran.
Konstruktivistik
|
Behavioristik
|
Pengtahuan adalah non-objective,
bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu.
|
Pengetahuan adalah objektif,
pasti, dan tetap , tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi.
|
Belajar adalah penyusunan
pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi
serta interpretasi. Mengajar adalah menata lingkungan agar si belajar
termotivasi dalam menggali makna seta menghargai ketidakmenentuan.
|
Belajar adalah perolehan
pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang
belajar.
|
Si belajar akan memiliki
pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalamannya,
dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.
|
Si belajar akan memiliki
pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang
dipahami oleh pengajar itulah yang harus dipahami oleh si belajar.
|
Mind berfungsi sebagai alat
untuk menginterpretasi peristiwa, objek, atau perspektif yang ada dalam dunia
nyata sehingga makna yang dihasilkan bersifat unik dan individualistic.
|
Fungsi mind adalah menjiplak
struktur pengetahuan melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan
dipilah sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini
ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan.
|
b)
Pandangan
Konstruktivistik dan Behavioristik tentang penataan lingkungan belajar
Konstruktivistik
|
Behavioristik
|
Ketidakteraturan,
ketidakpastian, kesemrawutan,
|
Keteraturan, kepastian, ketertiban
|
Si belajar harus bebas.
Kebebasan menjadi unsure yang esensial dalam lingkungna belajar.
|
Si belajar harus dihadapkan
pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dahulu secara ketat.
Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial. Pembelajaran lebih banyak
dikaitkan dengan penegakan disiplin.
|
Kegagalan atau keberhasilan,
kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang
perlu dihargai.
|
Kegagalan atau
ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan
yang perlu dihukum, dan keberhasilan atau kemampuan dikategorikan sebagai
bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.
|
Kebebasan dipandang sebagai
penentu keberhasilan belajar. Si belajar adalah subjek yang harus memapu
menggunakan kebebasan untuk melakukan pengaturan diri dalam belajar.
|
Ketaatan pada aturan
dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Si belajar adalah objek yang
harus berperilaku sesuai dengan aturan.
|
Control belajar dipegang
oleh si belajar.
|
Control belajar dipegang
oleh system yang berada di luar diri si belajar.
|
c)
Pandangan
Konstruktivistik dan behavioristik tentang Tujuan Pembelajaran
Konstruktivistik
|
Behavioristik
|
Tujuan pembelajaran
ditekankan pada belajar bagaimana belajar (learn how to learn)
|
Tujuan belajar ditekankan
pada penambahan pengetahuan.
|
d)
Pandangan
Konstruktivistik dan behavioristik tentang strategi pembelajaran
Konstruktivistik
|
Behavioristik
|
Penyejian isi menekankan
pada penggunaan pengetahuan secara bermakna mengikuti urutan dari keseluruhan-ke-bagian.
Pembelajaran lebih banyak
diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau pandangan si belajar.
Aktivitas belajar lebih
banyak didasarkan pada data primer dan bahan manipulatif dengan penekanan
pada keterampilan berpikir kritis.
Pembelajaran menekankan pada
proses.
|
Penyajian isi menekankan
pada keterampilan yang terisolasi dan akumulasi fakta mengikuti urutan dari
bagian-ke-keseluruhan.
Pembelajaran mengikuti
urutan kurikulum secara ketat.
Aktivitas belajar lebih
banyak didasarkan pada buku teks dengan penekanan pada keterampilan
mengungkapkan kembali isi buku teks.
Pembelajaran menekankan pada
hasil
|
e)
Pandangan
Konstruktivistik dan Behavioristik tentang evaluasi
Konstruktivistik
|
Behavioristik
|
Evaluasi menekankan pada
penyusunan makna secara aktif yang melibatkan keterampilan terintegrasi,
dengan menggunakan masalah dalam konsteks nyata.
Evaluasi yang menggali
munculnya berpikir divergent, pemecahan ganda, bukan hanya satu jawaban benar
Evaluasi merupakan bagian
utuh dari belajar dengan cara memberikan tugas-tugas yang menuntut aktivitas
belajar yang bermkana serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks
nyata. evaluasi menekankan pad aketerampilan proses dalam kelompok.
|
Evaluasi menekankan pada
respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan ‘paper
and pencil test’
Evaluasi yang menuntu satu
jawaban benar. Jawaban benar menunjukkan bahwa si-belajar telah menyelesaikan
tugas belajar.
Evaluasi belajar dipandang
sebagai bagian terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasnaya dilakukan
setelah kegiatan belajar dengan penekanan pada evaluasi individual.
|
3. Rancangan Pembelajaran Konstruktivistik
Berdasarkan
teori J. Peaget dan Vygotsky yang telah dikemukakan di atas maka pembelajaran
dapat dirancang/didesain model pembelajaran konstruktivis di kelas sebagai
berikut:
Pertama,
identifikasi prior knowledge dan miskonsepsi. Identifikasi awal terhadap
gagasan intuitif yang mereka miliki terhadap lingkungannya dijaring untuk
mengetahui kemungkinan-kemungkinan akan munculnya miskonsepsi yang menghinggapi
struktur kognitif siswa. Identifikasi ini dilakukan dengan tes awal, interview
Kedua,
penyusunan program pembelajaran. Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk
satuan pelajaran.
Ketiga
orientasi dan elicitasi, situasi pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan
sangatlah perlu diciptakan pada awal-awal pembelajaran untuk membangkitkan
minat mereka terhadap topic yang akan dibahas. Siswa dituntun agar mereka mau
mengemukakan gagasan intuitifnya sebanyak mungkin tentang gejala-gejala fisika
yang mereka amati dalam lingkungan hidupnya sehari-hari. Oengungkapan gagasan
tersebut dapat memalui diskusi, menulis, ilustrasi gambar dan sebagainya.
Gagasan-gagasan tersebut kemudian dipertimbangkan bersama. Suasana pembelajaran
dibuat santai dan tidak menakutkan agar siswa tidak khawatir dicemooh dan
ditertawakan bila gagasan-gagasannya salah. Guru harus menahan diri untuk tidak
menghakiminya. Kebenaran akan gagasan siswa akan terjawab dan terungkap dengan
sendirinya melalui penalarannya dalam tahap konflik kognitif.
Keempat,
refleksi. Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifat
miskonsepsi yang muncul pada tahap orientasi dan elicitasi direflesikan dengan
miskonsepsi yang telah dijaring pada tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasi
berdasarkan tingkat kesalahan dan kekonsistenannya untuk memudahkan
merestrukturisasikannya.
Kelima,
resrtukturisasi ide, (a) tantangan, siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan
tentang gejala-gejala yang kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam
praktikum. Mereka diminta untuk meramalkan hasil percobaan dan memberikan alas
an untuk mendukung ramalannya itu. (b) konflik kognitif dan diskusi kelas.
Siswa akan daapt melihat sendiri apakah ramalan mereka benar atau salah. Mereka
didorong untuk menguji keyakinan dengan melakukan percobaan. Bila ramalan
mereka meleset, mereka akan mengalami konflik kognitif dan mulai tidak puas
dengan gagasan mereka. Kemudian mereka didorong untuk memikirkan penjelasan
paling sederhana yang dapat menerangkan sebanyak mungkin gejala yang telah
mereka lihat. Usaha untuk mencari penjelasan ini dilakukan dengan proses
konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau guru yang pada kapasistasnya
sebagai fasilitator dan mediator. (c) membangun ulang kerangka konseptual.
Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa konsep-konsep yang baru itu
memiliki konsistensi internal. Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu
memiliki keunggulan dari gagasan yang lama.
Keenam,
aplikasi. Menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari
miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep
ilmiahnya tersebut dalam berbagai macam situasi untuk memecahkan masalah yang
instruktif dan kemudia menguji penyelesaian secara empiris. Mereka akan mampu
membandingkan secara eksplisit miskonsepsi mereka dengan penjelasa secara
keilmuan.
Ketujuh,
review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang telah
berlangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran.
Revisi terhadap strategi pembelajaran dilakukan bila miskonsepsi yang muncul
kembali bersifat sangar resisten. Hal ini penting dilakukan agar miskonsepsi
yang resisten tersebut tidak selamanya menghinggapi struktur kognitif, yang
pada akhirnya akan bermuara pada kesulitan belajar dan rendahnya prestasi siswa
bersangkutan.
4. Prinsip-prinsip dalam pengajaran kontruktivisme
Di dalam
pendidikan, ide-ide konstruktivis diterjemahkan sebagai berarti bahwa semua
pelajar benar-benar mengkonstruksikan pengetahuan untuk dirinya sendir, dan
bukan pengetahuan yang datang dari guru “diserap oleh murid. Ini berarti bahwa
setiap murid akan mempelajari sesuatu yang sedikit berbeda dengan pelajaran
yang diberikan, dan bahwa sebagai guru kita tidak akan dapat memastikan bahwa
murid-murid kita akan belajar karena murid adalah konstruktor pengetahuan aktif yang memiliki sejumlah
konsekuensi.
Belajar
selalu merupakan sebuah proses aktif. Pelajar secara aktif mengkonstrukikan
belajarnya daru berbagai macam input yang diterimanya. Ini menyiratkan bahwa
belajar harus bersikap aktif agar dapat belajar secara efektif. belajar adalah
tentang membantu murid untuk mengkonstruksikan makna mereka sendiri, bukan
tentang “mendapatkan jawaban yang benar” karena dengan cara seperti ini murid
dilatih untuk mendapatkan jawaban yang benar tanpa benar-benar memahami
konsepnya.
Anak-anak
belajar paling baik dengan menyelesaikan berbagai konflik kognitif (konflik
dengan berbagai ide dan prakonsepsi lain) melalui pengalaman, refleksi dan
metakognisi.
Bagi
konstruktivis, belajar adalah pencarian makna. murid secara aktif berusaha
mengkonstruksikan makna. Dengan demikian, guru mestinya berusaha mengkonstruksi
berbagai kegiatan belajar di seputar ide-ide besar eksplorasi yang memungkinkan
murid untuk mengkonstruksi makna.
Elemen lain
yang berakar pada fakta bahwa murid secara individual dan kolektif
mengkonstruksikan pengetahuan. Agar efektif guru harus memiliki pengetahuan
yang baik tentang perkembangan anak dan teori belajar, sehinggga mereka dapat
menilai secara akurat belajar seperti apa yang dapat terjadi.
Di samping
itu, belajar selalu dikonseptualisasikan. Kita tidak mempelajari fakta-fakta
secara abstrak, tetapi sealalu dalam hubungannya dengan apa yang telah kita
ketahui.
Belajar
secara betul-betul mendalam berarti mengkonstruksikan pengetahuan secara
menyeluruh, dengan mengeksplorasi dan menengok kembali materi yang kita
pelajari dan bukan dengan cepat pindah satu topik ke topik lain. Murid hanya
dapat mengkonstruksikan makna bila mereka dapat melihat keseluruhannya, bukan
hanya bagian-bagiannya.
Mengajar
adalah tentang memberdayakan pelajar, dan memungkinkan pelajar untuk
menemukakan dan melakukan refleksi terhadap pengalaman-pengelaman realistis.
Ini akan menghasilkan pembelajaran yang otentik/asli dan pemahaman yang lebih
dalam dibandingkan dengan memorisasi permukaan yang sering menjadi ciri
pendekatan-pendekatan mengajar lainnya (Von Glaserfelt, 1989). Ini juga membuat
kaum konstruktivis percaya bahwa lebih baik menggunakan bahan-bahan hands-on
daripada tekxbook.
Sementara
itu, Muchith (2008:76) membuat skema perbandingan antara pembelajaran
tradisional dan pembelajaran konstruktivistik sebagai berikut:
Pembelajaran tradisional
1.
penyajian
kurikukum bersifat induktif (disajikan dari bagian-bagian menuju keseluruhan)
2.
Penyajian
kurikulum menggunakan pendekatan deduktif (disajikan melalui keseluruhan menuju
bagian-bagian)
3.
Pembelajaran
berjalan secara rutinitas, formalitas dan baku. lebih didasarkan pada kurikulum
yang bersifat formalistik
4.
Pemebalajaran
didesain dalam suasana yang memberikan kebebasan siswa untuk mengekspresikan
idea tau gagasannya
5.
Kegiatan kurikuler
lebih banyak berorientasi pada buku pegangan/teks yang dimiliki sekolah/guru
6.
Kegiatan
kurikuler lebih banyak dikaitkan dengan realitas dalam kehidupan masyarakat.
Kegiatan kurikuler atau pembelajaran cenderung menggunakan model kooperatif
(kerjasama
7.
Peserta
yang belajar lebih dipandang sebagai objek yang tidak memiliki pengetahuan
apa-apa. Asumsi ini akhirnya melahirkan pembelajaran hanya sekedar menyampaikan
materi kepada siswa. Aspek pemahaman mudah dinafikkan oleh guru
8.
Peserta
didik dipahami sebaagi individu yang memiliki potensi untuk mengembangkan
materi pelajaran
9.
Penilaian
atau tes belajar dipandang sebagai bagian dari proses yang tidak terpisahkan
dari pembelajaran dan sering kali dilakukan pada akhir pelajaran dengan cara
testing
10.
Penilaian
atau tes hasil belajar dilakukan secara progresif dan melalui penilaian karya
siswa. Dalam konteks sekarang biasa disebut test fortofolio
11.
Pembelajaran
hanya memiliki target menghabiskan materi pelajaran, kurang memperhatikan
kualitas pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan
12.
Pembelajaran
lebih didasarkan atas proses, sehingga siswa-siswi banyak belajar dan bekerja
di dalam kelompok (kolektif).
Selain itu,
Brooks, JG et.al (1993) mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan
teori belajar konstruktivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh
secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, Fungsi
kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata
yang dimiliki anak.
Kedua
prinsip di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif
dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan
melalui lingkungannya. Dalam kaitannya dengan ini, Funston (1996) lebih
spesifik menatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila
belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena
itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu
dari seseorang akan mempengaruhi proses belajar tersebut.
Dalam kaitannya
dengan ini juga, Duffy dan Cunningham (1996) mengemukakan sejumlah aspek dalam
pembelajaran berdasarkan teori konstruktivis yaitu:
1.
Siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang
mereka miliki.
2.
Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswanya mengerti.
3.
Strategi
siswa lebih bernilai.
4.
Siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar
pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Oleh karena
itu, paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah
memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuam awal tersebut
akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Untuk itu, guru
dituntut untuk memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar.
guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama
dan sesuai dengan kemampuannya.
5. Aplikasi teori konstruktivisme dalam
pembelajaran IPS
Konstruktivisme
adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif
siswa berdasarkan pengalaman. Penerapan siswa didorong untuk mampu
mengkonstruksi pengetahuan sendiri melalui pengalaman nyata.
Donald R.
(2006: 255) mengutip beberapa pendapat mengenai konstruktivisme sebagai berikut:
Constructivism
is defined as teaching that emphasizes the active role of the learner in
building understanding and making sense of information (Woolfolk, 2003); learners construction of knowledge as they attempt to make sense of their
environment (McCown, driscoll & Roop, 1995); and learning that occurs when
learners actively engage in a situation that involves collaboratively
formulating questions, explaining phenomenon, addressing complex issues, or
solving problems (Gagnon & Colley, 2001).
Konstruktivisme
didefinisikan sebagai pengajaran yang menekankan peran aktif pembelajar dalam
membangun pemahaman dan membuat makna terhadap informasi (Woolfolk, 2003); para pembelajar konsrtruksi ilmu pengetahuan saat mereka berusaha untuk
memberikan makna terhadap lingkungan mereka (McCown, driscoll & Roop,
1995); dan pembelajaran yang terjadi ketika para pembelajar secara aktif terlibat
di dalam situasi yang secara kolaboratif meliputi merumuskan masalah,
menjelaskan penomena, mengemukakan isu-isu yang kompleks, atau memecahkan
masalah (Gagnon & Colley, 2001).
Dengan
demikian, Donald mengemukana bahwa “Constructivism is a way of teaching and
learning that intends to maximize student understanding”. Maksudnya,
kontruktivisme adalah suatu cara dalam pengajaran dan pembelajaran yang
tujuannya adalah untuk memaksimalkan pemahaman siswa
Tujuan dari
kontruktivisme ini, sebagaimana dikatakatan oleh Donald berikut: “Purpose of
constructivist teaching and learning is enable to students to acquire
information in ways that make that information most readily understood and
usable”. Maksudnya tujuan pengajaran dan pembelajaran konstruktivis adalah
memampukan siswa untuk memperoleh informasi dengan cara-cara yang membauat
informasi tersebut sangat mudah dipahami dan dapat digunakan.
Untuk
menciptakan aktivitas belajar semakin dipahami dan berguna, para penganut
konstruktivis telah mengumpulkan sejumlah ide dan membawa mereka bersama untuk
membentuk suatu mosaik. Donald, (2006:256) mengungkapkan ide-ide tersebut
diantaranya meliputi:
a)
Active
learning (when students are directly involved in finding something out for
themselves) is preferable to passive learning (when students are recipients of
information presented by a teacher).
b)
Learners
should engage in “authentic and situated” activities, that is, the tasks they
face should be concrete rather than abstract, real versus symbolic.
c)
Learning
activities should be interesting and challenging, d) Learners should relate new
information to that which they already have through bridging.
d)
Learners
should reflect or think about what is being learned (reflection).
e)
Learning
takes place best in community learners that is, group or social situation.
f)
Rather than
present information to learners, teachers facilitate its acquisition.
g)
Teachers
must provide learners with assistance or scaffolding that may be needed for
them to progress.
Maksudnya
adalah a) pembelajaran aktif (ketika siswa secara langsung terlibat dalam
menemukan sesuatu untuk mereka sendiri) adalah cocok untuk pembelajaran yang
pasif (ketika siswa adalah penerima informasi yang dipresentasikan oleh guru);
b) pembelajar seharusnya terlibat dalam aktivitas yang diciptakan dan nyata,
yaitu tugas-tugas yang mereka hadapi seharusnya konkret jika tida abstrak,
nyata bukan simbolik; c) aktivitas belajar seharusnya menarik dan menantang; d)
pembelajar seharusnya mengaitkan informasi baru dengan informasi yang telah
miliki melalui bridging; e) pembelajar seharusnya
merefleksikan atau memikirkan apa yang dipelajari; f) pembelajaran terjadi
paling baik dalam komunitas pembelajar (leaners community) yaitu kelompok atau
situasi social; g) jika bukan memperentasikan informasi kepada pembelajar, guru
memfasilitasi penyatuannya; h) guru harus memberikan pembelajar bantuan atau
scaffolding yang mungkin dibutuhkan oleh mereka untuk maju.
Dalam
kaitannya dengan den IPS, menurut Mukminan, et.al (2002:1), “IPS diartikan
sebagai penelaahan masyarakat sesuai tugasnya untuk menelaah masyarakat sesuai
dengan segala permasalahannya yang sangat kompleks. Dalam penelaahan harus
dilandasi oleh teori-teori sosial yang dapat memperhitungkan proyeksi kehidupan
lebih lanjut.
Istilah lain
dari IPS adalah social studies. Menurut menurut NCSS bahwa social studies
adalah:
…the
integrated study of the social sciences and humanities to promote civic
competence. Within the school program, social studies provides coordinated,
systematic study drawing upon such disciplines as anthropology, archeology,
economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology,
religion, and sociology, as well as appropriate content from the humanities,
mathematics, and natural sciences.
Pengkajian
masalah-masalah sosial merupakan pengkajian realitas yang terjadi di masyarakat
secara integrasi dipandang dari berbagai sudut pandang ilmu-ilmu sosial. Oleh
karenanya, pendekatan atau strategi pembelajaran yang tepat adalah pembelajaran
yang kontekstual yang mana di dalamnya siswa diberikan kesempatan secara aktif
untuk mengemukakan pendapat dan pemikirannya berdasarkan pengalamannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Dalam kaitanannya
dengan itu bahwa teori belajar kontruktivis merupakan teori yang tepat untuk
pembelajaran IPS. Dalam pembelajaran IPS, guru bukanlah seorang yang paling
tahu segalanya sementara siswa dianggap bodoh akan
tetapi guru hanyalah sebagai fasilitator, motivator dan instruktur. Guru
memiliki peran untuk mebangkitkan semangan belajar siswa dari
pengalaman-pengalaman nyata yang dihadapi dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh
karena itu, dalam pembelajaran IPS seperti yang dikemukakan oleh Donald dapat
meciptakan suasana active learning (pembalajaran aktif), authentic and situated
activities (aktivitas nyata dan sesuai dengan situasi), interesting and
challenging (menarik dan menantang), learning community (belajar
bersama/kelompok), facilitating (memfasilitasi) dan scafolding (memberikan
bantuan).
Berkaitan
dengan ini, Kosasih Djahiri (dalam Mukminan dkk, 2002: 146) berpendapat bahwa
dalam pembelajaran IPS perlu memperhatikan prinsip-prinsip berikut:
1.
Belajar adalah hasil dari
lingkungan sosial yang bersangkutan melalui pengawasan dan penyesuaian.
Tuntutan masyarakat dan budaya melahirkan tuntutan untuk belajar secara terus
menerus.
2.
proses bel;ajar dalam
masyarakat diperankan oleh berbagai lemabaga (keluarga, masyarakat dan sekolah).
3.
mempelajari IPS diarahkan kepada
(a) kebutuhan praktis, (b) kebutuhan yang multidimensi, dan (c) penguasaan
hal-hal yang prinsipil dari pada pelajaran tersebut, permasalahan, pendekatan,
metode penelaahannya agar dapat ditetapkan dalam mengahadapi hal yang sama.
Pendapat
Kosasih di atas mengenai prinsip-prinsip pembelajaran IPS memiliki keterkaitan
dengan teori belajar konstruktivis dimana belajar dilakukan berdasarkan
realitas sosial yang ada di masyarakat.
Pandangan
konstruktivis mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha memberi makna oleh
siswa terhadap pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju kepada
pembentukan struktur kognitifnya. Proses belajar sebagai usaha pemberian makna
oleh siswa kepada pengalamnnya melalui proes asimilasi dan akomdasi, akan
membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang menuju kepada kemutakhiran struktur
kognitifnya. Guru-guru konsytruktivistik yang mengakui dan menghargai dorongan
diri manusia/siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, kegaiata
pembelajaran yang dilakukannya akan diarahkan agar terjadi aktivitas konstruksi
pengetahuan oleh siswa secara optimal. Oleh karena itu, karakteristik yang
perlu dilakukan adalah:
1.
Membebaskan siswa dari
belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas yang sudah ditetapkan, dan
memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide-idenya secara lebih
luas
2.
Menempatkan siswa sebagai
kekuatan timbulnya interes, untuk membuat hubungan di antara ide-ide atau
gagasannya, kemudian memformulasikan kembali ide-ide tersebut, kemudian membuat
kesimpulan-kesimpulan
3.
Guru bersama-sama dengan siswa
mengkaji pesan-pesan penting bahwa dunia adalah kompleks, di mana terdapat
bermacam-macam pandanagan tentang kebenaran yang datangnya dari berbagai
innterpretasi
4.
guru mengakui bahwa proses
belajar serta penilaiannya merupakan suatu usaha yang komoleks, sukar dipahami,
tidak teratur.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Behaviorisme adalah teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur, diamati dan
dihasilkan oleh respons pelajar terhadap rangsangan. Teori behavioristik banyak
dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang
kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan
dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan
respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang
terjadi dalam hubungan stimulus dan respon. Implikasi dari teori behavioristik
dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas
bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan
kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat
otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan
seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk
berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka
Pandangan konstruktivis mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha memberi makna oleh siswa terhadap pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju kepada pembentukan struktur kognitifnya.
Pandangan konstruktivis mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha memberi makna oleh siswa terhadap pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju kepada pembentukan struktur kognitifnya.
B.
Saran
Dalam proses belajar pembelajaran
sering kali siswa merasa bosan dengan tingkah laku seorag guru yang kebiasaan
menerapkan metode ceramah tanpa ada bantuan metode lain seperti alat peraga
atau diskusi. Seorang guru harus dapat mengasosiasi
stimulus respon secara tepat. Siswa harus dibimbing melakukan apa yang harus
dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang
mungkin diabaikan oleh anak. Dan seorang guru sebaiknya lebih
peka terhadap siswa supaya proses belajar pembelajaran berjalan dengan baik.
Sehingga siswa lebih respek dalam mengikuti pelajaran dan siswa pun menyenangi
guru tersebut.