Kamis, 06 Agustus 2015

BEHAVIORISME DAN KONSTRUKTIFISME



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Pengemasan pendidikan, pembelajaran, dan pengajaran sekarang ini belum optimal seperti yang diharapkan. Hal ini terlihat dengan kekacauan-kekacauan yang muncul di masyarakat bangsa ini, diduga bermula dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan. Pendidikan yang sesungguhnya paling besar memberikan kontribusi terhadap kekacauan ini.
Tantangan dunia pendidikan ke depan adalah mewujudkan proses demokratisasi belajar. Pembelajaran yang mengakui hak anak untuk melakukan tindakan belajar sesuai karakteristiknya. Hal penting yang perlu ada dalam lingkungan belajar yang demokratis adalah realness. Sadar bahwa anak memiliki kekuatan disamping kelemahan, memiliki keberanian di samping rasa takut dan kecemasan, bisa marah di samping juga bisa gembira.
Realness bukan hanya harus dimiliki oleh anak, tetapi juga orang yang terlibat dalam proses pembelajaran. Lingkungan belajar yang bebas dan didasari oleh realness dari semua pihak yang telibat dalam proses pembelajaran akan dapat menumbuhkan sikap dan persepsi yang positif terhadap belajar.
Belajar dan mengajar adalah dua kegiatan yang tunggal tapi memang memiliki makna yang berbeda. Belajar diartikan sebagai suatu perubahan tingkah-laku karena hasil dari pengalaman yang diperoleh. Sedangkan mengajar adalah kegiatan menyediakan kondisi yang merangsang serta mangarahkan kegiatan belajar siswa/subjek belajar untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang dapat membawa perubahan serta kesadaran diri sebagai pribadi.
Menurut Arden N. Frandsen mengatakan bahwa hal yang mendorong seseorang itu untuk belajar antara lain sebagai berikut:
a.    Adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas.
b.    Adanya sifat kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk maju.
c.    Adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru, dan teman.
d.   Adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan usaha yang baru, baik dengan koperasi maupun dengan kompetensi.
e.    Adanya ganjaran atau hukuman sebagai akhir dari pada belajar.
Secara luas teori belajar selalu dikaitkan dengan ruang lingkup bidang psikologi atau bagaimanapun juga membicarakan masalah belajar ialah membicarakan sosok manusia. Ini dapat diartikan bahwa ada beberapa ranah yang harus mendapat perhatian. anah-ranah itu ialah ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor. Akan tetapi manusia sebagai makhluk yang berpikir, berbeda dengan binatang. Binatang adalah juga makhluk yang dapat diberi pelajaran, tetapi tidak menggunakan pikiran dan akal budi. Ivan Petrovich Pavlov, ahli psikologi Rusia berpengalaman dalam melakukan serangkaian percobaan. Dalam percobaan itu ia melatih anjingnya untuk mengeluarkan air liur karena stimulus yang dikaitkan dengan makanan. Proses belajar ini terdiri atas pembentukan asosiasi (pembentukan hubungan antara gagasan, ingatan atau kegiatan pancaindra) dengan makanan. Proses belajar yang digambarkan seperti itu menurut Pavlov terdiri atas pembentukan asosiasi antara stimulus dan respons refleksif.

B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimana konsep dasar teori belajar Behavioristik dan Konstruktivistik?
2.    Apakah perbedaan antara responden Conditioning, Operant Conditioning, dan Observational Learning?
3.    Bagaimana implikasi dalam proses pembelajaran nyata di sekolah?
4.    Apa kecenderungan teori belajar yang seringkali di lakakukan oleh para guru di kelas?

C.      Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui prinsip-prinsip dari berbagai teori belajar dan pembelajaran.
2.    Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan dari berbagai teori belajar dan pembelajaran.
3.    Mendiskusikan aplikasi berbagai teori belajar dan pembelajaran dalam pelaksanaan tugas guru dalam praktik.
4.    Untuk mengetahui bagaimana cara menerapkan teori-teori belajar dalam pendidikan.

D.      Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Teoretis, untuk mengkaji ilmu pendidikan khususnya dalam memahami implikasi pendidikan, pembelajaran, pengajaran, prinsip-prinsip pembelajaran, dan perkembangan teori pembelajaran.
2.    Praktis, bermanfaat bagi:
a.    Para pendidik agar pendidik tidak salah persepsi tentang pendidikan, pembelajaran, dan pengajaran, serta dapat menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran dan teori pembelajaran yang sesungguhnya.
b.    Mahasiswa agar memahami tentang pengertian, prinsip, dan perkembangan teori pembelajaran.

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Konsep Dasar Teori Belajar Behaviorisme
Behaviorisme adalah teori perkembangan perilaku yang dapat diukur, diamati dan dihasilkan oleh respons pelajar terhadap rangsangan. Tanggapan terhadap rangsangan dapat diperkuat dengan umpan balik positif atau negatif terhadap perilaku kondisi yang diinginkan. Hukuman kadang-kadang digunakan dalam menghilangkan atau mengurangi tindakan tidak benar, diikuti dengan menjelaskan tindakan yang diinginkan. Pendidikan behaviorisme merupakan kunci dalam mengembangkan keterampilan dasar dan dasar-dasar pemahaman dalam semua bidang subjek dan manajemen kelas. Ada ahli yang menyebutkan bahwa teori belajar behavioristik adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret.
Premis dasar teori belajar behavioristik menyatakan bahwa interaksi antara stimulus respons dan penguatan terjadi dalam suatu proses belajar. Teori belajar behavioristik sangat menekankan pada hasil belajar, yaitu perubahan tingkah laku yang dapat dilihat. Hasil belajar diperoleh dari proses penguatan atas respons yang muncul terhadap stimulus yang bervariasi.
Salah satu teori belajar behavioristik adalah teori classical conditioning dari Pavlov yang didasarkan pada reaksi sistem tak terkondisi dalam diri seseorang serta gerak refleks setelah menerima stimulus. Menurut Pavlov, penguatan berperan penting dalam mengkondisikan munculnya respons yang diharapkan. Jika penguatan tidak dimunculkan, dan stimulus hanya ditampilkan sendiri, maka respons terkondisi akan menurun dan atau menghilang. Namun, suatu saat respons tersebut dapat muncul kembali.
Sementara itu, connectionism dari Thorndike menyatakan bahwa belajar merupakan proses coba-coba sebagai reaksi terhadap stimulus. Respons yang benar akan semakin diperkuat melalui serangkaian proses coba-coba, sementara respons yang tidak benar akan menghilang. Akibat menyenangkan dari suatu respons akan memperkuat kemungkinan munculnya respons. Respons yang benar diperoleh dari proses yang berulang kali yang dapat terjadi hanya jika siswa dalam keadaan siap.
Teori behaviorism dari Watson menyatakan bahwa stimulus dan respons yang menjadi konsep dasar dalam teori perilaku haruslah berbentuk tingkah laku yang dapat diamati. Interaksi stimulus dan respons merupakan proses pengkondisian yang akan terjadi berulang-ulang untuk mencapai hasil yang cukup kompleks.
Ciri dari teori behavioristik adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil belajar.
Dalam hal konsep pembelajaran, proses cenderung pasif berkenaan dengan teori behavioris. Pelajar menggunakan tingkat keterampilan pengolahan rendah untuk memahami materi dan material sering terisolasi dari konteks dunia nyata atau situasi. Little tanggung jawab ditempatkan pada pembelajar mengenai pendidikannya sendiri.

1.    Prinsip Dasar Behaviorisme
·      Perilaku nyata dan terukur memiliki makna tersendiri, bukan sebagai perwujudan dari jiwa atau mental yang abstrak
·      Aspek mental dari kesadaran yang tidak memiliki bentuk fisik adalah pseudo problem untuk sciene, harus dihindari.
·      Penganjur utama adalah Watson : overt, observable behavior adalah satu-satunya subyek yang sah dari ilmu psikologi yang benar.
·      Dalam perkembangannya, pandangan Watson yang ekstrem ini dikembangkan lagi oleh para behaviorist dengan memperluas ruang lingkup studi behaviorisme dan akhirnya pandangan behaviorisme juga menjadi tidak seekstrem Watson, dengan mengikutsertakan faktor-faktor internal juga, meskipun fokus pada overt behavior tetap terjadi.
·      Aliran behaviorisme juga menyumbangkan metodenya yang terkontrol dan bersifat positivistik dalam perkembangan ilmu psikologi.
·      Banyak ahli (a.l. Lundin, 1991 dan Leahey, 1991) membagi behaviorisme ke dalam dua periode, yaitu behaviorisme awal dan yang lebih belakangan.

2.    Teori Behavioristik
Teori Behavioristik ada 3 yaitu:
a.    Teori Responden Learning
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
a)      Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
b)      Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.

b.   Operant Conditioning
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
a)      Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
b)      Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.

c.    Observational Learning atau Social-Cognitive Learning
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.

3.    Analisis Tentang Teori Behavioristik
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek.
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
·      Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.
·      Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
·      Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.

4.    Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.
Ada beberapa tokoh teori behavioristik. Tokoh-tokoh aliran behavioristik tersebut antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:


Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme.
Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan. Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.

Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.

B.       Konsep Dasar Teori Belajar Konstruktivisme
Pandangan konstruktivis mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha memberi makna oleh siswa terhadap pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju kepada pembentukan struktur kognitifnya. Proses belajar sebagai usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamnnya melalui proes asimilasi dan akomdasi, akan membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang menuju kepada kemutakhiran struktur kognitifnya. Guru-guru konsytruktivistik yang mengakui dan menghargai dorongan diri manusia/ siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, kegaiata pembelajaran yang dilakukannya akan diarahkan agar terjadi aktivitas konstruksi pengetahuan oleh siswa secara optimal.
Konstruktivisme merupakan teori belajar dari piaget. Konstruktivisme juga bagian dari teori kognitif. Teori konstruktivisme dikembangkan oleh Piaget pada pertengahan abad 20. Konstruktivisme adalah sebuah gerakan besar yang memiliki posisi filosofis sebesar strategi pendidikan. Konstruktivisme sangat berpengaruh di bidang pendidikan, dan memunculkan metode dan strategi mengajar baru.

a.    Teori Belajar Kontruktivisme Jean Piaget
Jean piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat kontruktivisme, yang teori pengetahuannya dikenal dengan adaptasi kognitif. Manusia berhapadan dengan tantangan, pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang harus ditanggapi secara kognitif (mental). Untuk itu, manusia harus mengembangkankan skema pikirannya lebih umum atau rinci, atau perlu perubahan, menjawab dan menginterpretasikan pengalaman-pengalaman tersebut.
Piaget (1967, 1970) mengembangkan konsep dan metode teori dasar untuk mengkaji proses kognitif. Teori dan penelitian Piaget (1967) mengenai perkembangan kognitif menyarankan bahwa anak-anak tumbuh melalui beberapa tingkatan (stages) yang berbeda dalam perkembangan kognitif dan bayi sampai dewasa. Menurut Piaget tingkat pertama perkembangan kognitif membangun fondasi untuk perkembangan konsepual dalam tindakan, dimulai dengan tindakan sensori motorik dan refleksi. Tingkatan selanjutnya membangun tingkat kognisi yang lebih tinggi pada skema yang terbentuk sebelumnya. Piaget menawarkan statement ringkas pada teorinya tentang meaning making: “otak mengorganisasi dunia dengan mengorganisasi dirinya”. (Piaget, 1937/1971, hlm.311).
Selain itu, Piaget juga berpendapat bahwa pada dasarnya setiap individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk menngkontruksi pengetahuannya sendiri. Pengethuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subjek, maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna; sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. pengethauan tersebut hanya untuk diingat sementara setelah itu dilupakan.
Menurut Piaget, mengkonstruksi pengetahuan dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Proses merespon lingkungan sesuai dengan struktur kognitif seseorang dinamakan assimilation (asimilasi), yakni sejenis pencocokan atau penyesuaian antara struktur kognitif dengan lingkungan fisik. Struktur kognitif yang eksis pada momen tertentu akan dapat diasimilasikan oleh organisme. Misalnya, jika skema mngisap, menatap, menggapai, dan memegang sudah tersedia bagi si anak, maka segala sesuatu yang dialami anak akan diasimilasikan ke skemata itu. Saat struktur berubah maka anak mungkin bisa mengasimilasikan aspek-aspek yang berbeda dari lingklungan fisik. Skema yang dimaksud oleh Piaget dalam hal ini adalah potensi umum untuk melakukan satu kelompok prilaku. Skema adalah istilah yang amat penting dalam teori piaget. Suatu skema dapat dianggap sebagai elemen dalam struktur kognitif organisme. Skemata (istilah jamak dari skema) yang ada dalam organisme akan menentukan bagaimana ia akan merespon lingkungan fisik.
Jelas, jika asimilasi adalah satu-satunya proses kognitif, maka tak akan ada perkembangan intelektual sebab organisme hanya akan mengasimilasikan pengalamnnya ke dalam struktur kognitif. Namun, proses penting kedua menghasilkan mekanisme untuk perkembangan intelektual yaitu accomodation (akomodasi), proses memodifikasi struktur kognitif.
Setiap pengalaman yang dialami seseorang akan melibatkan asimilasi dan akomodasi. kejadian-kejadian yang berkoresponden dengan skemata oragnisme membutuhkan akomodasi. Jadi, semua pengalaman melibatkan dua proses yang sama-sama penting: pengenalan atau mengetahui, yang berhubungan dengan asimilasi dan akomodasi, yang menghasilkan modifikasi struktur kognitif. modifikasi ini dapat disamakan dengan proses belajar. dengan kata lain, kita merespon dunia berdasarkan pengalaman yang kita alami sebelaumnya. Aspek unik dari pengalaman ini menyebabkan perubahan dalam struktur kogniti (akomodasi). Akomodasi karenanya menyediakan sarana utama bagi perkembangan intelektual.

b.   Jhon Dewey dan Von Graselfeld.
Jhon Dewey dan Von Graselfeld. Dalam hal ini seperti dikemukakan oleh Robert B. Innes (2004:1) bahwa “Constructivist views of learning include a range of theories that share the general perspective that knowledge is constructed by learners rather than transmitted to learners. Most of these theories trace their philosophical roots to John Dewey”. Maksudnya adalah bahwa pandangan penganut konstruktivisme mengenai belajar meliputi serangkaian teori yang membagi perespektif umum bahwa pengetahuan dikonstruksi oleh pembelajar bukan ditransfer ke pembelajar. Kebanyakan dari teori seperti ini berakar dari filsafat Jhon Dewey.
Dalam hal ini seperti dikemukakan oleh Robert B. Innes bahwa “Constructivist views of learning include a range of theories that share the general perspective that knowledge is constructed by learners rather than transmitted to learners. Most of these theories trace their philosophical roots to John Dewey”. Maksudnya adalah bahwa pandangan penganut konstruktivisme mengenai belajar meliputi serangkaian teori yang membagi perespektif umum bahwa pengetahuan dikonstruksi oleh pembelajar bukan ditransfer ke pembelajar. Kebanyakan dari teori seperti ini berakar dari filsafat Jhon Dewey.
Dewey menjelaskan bahwa manusia tidak selayaknya dibagi ke dalam dua bagian, satunya emotional dan yang lainnya intelektual, yang satunya materi nyata, lainnya imajinatif. Pembagian seperti ini sesungguhnya seringkali membangun, tetapi hal itu selalu karena metode yang salah dalam pendidikan. Sebenarnya dan biasanya, personalitas berkerja sebagai keseluruhan. Tidak ada integrasi karakter dan otak kecuali ada penyatuan intelektual dan emosional, makna dan nilai, kenyataan dan imajinasi yang berjalan diluar kenyataan menuju kecendrungan terhadap kemungkinan yang diinginkan.
Dewey memperkenalkan bahwa struktur internal pengetahuan dan hubungannya dengan bagian masalah adalah dasar dalam pengembangan pengetahuan yang berguna. Orientasi terhadap pembelajaran untuk belajar ketimbang mengumpulkan pengetahuan difasilitasi dengan memfokuskan tentang apa yang oleh Brown dan Campione (1996) sebut “big ideas and deep principles” (ide-ide besar dan prinsip yang dalam)”. Kontruktivisme menyakini bahwa belajar mencakup proses pengetahuan yang lebih mendalam ketimbang menghafalkan materi. Belajar meliputi restruktur atau menciptakan keterhubungan dari sistem yang terintegrasi (misalnya, menciptakan atau memodifikasi skema dengan suatu cara yang memiliki efek yang kuat tentang apa yang diperhatikan dan dipelajari dari hal tersebut.
Prinsip dasar yang mendasari filsafat konstruktivis adalah bahwa semua pengetahuan dikonstruksikan (dibangun) dan bukan dipersepsi secara langsung oleh indera (pemciuman, penglihatan, perabaan,…). Seperti dikatakan oleh Von Glasersfeld (1984), salah satu pendiri gerakan konstruktivis, bahwa konstruktivisme berakar pada asumsi bahwa pengetahuan, tidak peduli bagaimana pengetahuan itu didefinisikan, terbentuk di dalam otak manusia, dan subjek yang berpikir tidak memiliki alternatif selain mengkonstruksikan apa yang diketahuinya berdasarkan pengalamannya sendiri. Semua pikiran kita didasarkan oleh pada penglaman kita sendiri, dan oleh karenanya bersifat subjektif.

1.    Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivisme
Menurut cara pandang teori konstruktivisme bahwa belajar adalah proses untuk membangun pengetahuan melalui pengalaman nyata dari lapangan. Artinya siswa akan cepat memiliki pengalaman jika pengetahuan itu dibangun atas dasar realitas yang ada di dalam masyarakat. Penekanan teori konstruktivisme bukan pada membangun kualitas kognitif, tetapi lebih pada proses untuk menemukan teori yang dibangun dari realitas lapangan.
Belajar bukanlah proses tekonologisasi (robot) bagi siswa, melainkan proses untuk membangun penghayatan terhadap suatu materi yang disampaikan sehingga proses pembelajaran tidak hanya meyampaikan materi yang bersifat normatif (tekstual) tetapi juga harus juga menyampaikan materi yang bersifat kontekstual.
Teori konstruktivisme membawa implikasi dalam pembelajaran yang harus bersifat kolektif atau kelompok. Proses sosial masing-masing siswa harus diwujudkan. C. Asri Budiningsih menyatakan bahwa keberhasilan belajar sangat ditentukan oleh peran sosial yang ada pada diri siswa. Dalam situasi sosial akan terjadi situasi saling berhubungan, terdapat tata hubungan, tata tingkah laku dan sikap di antara sesama manusia. konsekuensinya, siswa harus memiliki keterampilan untuk menyesuaikan diri (adaptasi) secara tepat.
Dalam kaitannya dengan ini, Bettencourt (1989) mengemukakan bahwa ada tiga penekanan dalam teori belajar kontruktivisme yaitu:
·      Peran katif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara makna.
·      Pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna.
·      Mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah lebih sebagai fasilitator atau moderator. Artinya guru bukanlah satu-satunya sumber belajar yang harus selalu ditiru dan segala ucapan dan tindakannya selalu benar, sedang murid sosok manusia yang bodoh, segala ucapan dan tindakannya tidak selalu dapat dipercaya atau salah. Proses pembelajaran seperti ini, cendrung menempatkan siswa sebagai sosok manusia yang pasif, statis dan tidak memiliki kepekaan dalam memahami persoalan.
Sebagai fasilitator, guru berperan dalam memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran. Agar dapat melaksanakan peran sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran, Sanjaya berpendapat bahwa ada beberapa yang harus dipahami, khususnya hal-hal yang berhubungan dengan pemanfaatan berbagai media dan sumber pembelajaran yaitu:
1.    Guru perlu memahami berbagai jenis media dan sumber belajar beserta fungsi masing-masing media tersebut. Pemahaman akan fungsi media tersebut diperlukan, belum tentu semua media cocok digunakan untuk mengajarkan semua semua bahan pelajaran. Setiap media memiliki karakteristik tersendiri.
2.    Guru perlu mempunyai keterampilan dalam merancang suatu media. Dengan perancangan media yang dianggap cocok akan memudahkan proses pembelajaran, sehingga akan tercapai secara optimal.
3.    Guru dituntut untuk mampu mengorganisasikan berbagai jenis media serta dapat memanfaatkan berbagai sumber belajar.
4.    Guru dituntut agar mempunyai kemampuan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan siswa. Kemampuan berkomunikasi secara efektif dapat memudahkan siswa menangkap pesan sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar mereka.
Posisi siswa dalam pembelajaran menurut falsafah atau teori konstruktivisme adalah siswa harus aktif, kreatif dan kritis. konsekuensi utamanya guru sebelum memberikan materi pembelajaran harus mengetahui kemampuan awal siswa, jangan siswa dalam belajar berawal dari pemhaman yang kosong.
Peran guru dan siswa dalam pembelajaran konstruktivtistik harus diubah. Dalam hal ini, guru atau pendidik berperan sebagai seseorang yang berperan memberdayakan seluruh potensi siswa agar siswa mampu melaksanakan proses pembelajaran. Guru bertugas tidak mentransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan berusaha memberdayakan seluruh potensi dan sarana yang dapat membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri.
Menurut Muchith (2008:74) bahwa secara rinci peran guru perlu dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1.  Mampu membangun atau menumbuhkan semangat atau jiwa kemandirian dengan cara memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil inisiatif dalam memahami pengetahuan atau teori.
2. Mampu membangun atau memimbing siswa dalam memahami pengetahuan dan mampu berprilaku atau bertindak sesuai dengan kenyataan yang ada dalam realitas masyarakat.
3.  Mengkondisikan atau mewujudkan sistem pembelajaran yang mendukung kemudahan belajar bagi siswa sehingga mempunyai peluang optimal berlatih untuk memperoleh kompetensi.
Sementara itu, peran siswa menurut pandangan konstruktivisme bahwa siswa dalam proses pembelajaran harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan memberikan makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Paradigma konstruktivisme memandang bahwa siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Siswa dipahami pribadi yang memiliki kebebasan untuk membangun ide atau gagasan tanpa harus diintervensi oleh siapapun, siswa diposisikan manusia dewasa yang sudah memiliki modal awal pengetahuan.

2.    Aspek-aspek Pembelajaran Konstruktivistik
Fornot mengemukakan aaspek-aspek konstruktivitik sebagai berikut: adaptasi (adaptation), konsep pada lingkungan (the concept of envieronmet), dan pembentukan makna (the construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut oleh J. Piaget bermakna yaitu adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru perngertian orang itu berkembang.
Akomodasi, dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bias jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan (disequilibrium). Akibat ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang ada yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.
Tingkatan pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotskian disebutnya sebagai scaffolding. Scaffolding, berarti membrikan kepada seorang individu sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai keberhasilan dengan baik, (2) siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal meraih keberhasilan. Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya mencapai keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang yang lebih tinggi menjadi optimum.
Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan memalui adaptasi intelektual dalam konteks social budaya. Proses penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual.
Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah: (1), mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi social yang dimulai proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan, (2) zona of proximal development. Pembelajar sebagai mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.
Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran sosiakultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan social pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, funsi kognitif manusia berasal dari interaksi social masing-masing individu dalam konteks budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development mereka. Zona of proximal development adalah daerah antar tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.
Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara social dalam dialog dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah dialog antar pribadi.dalam hal ini pebelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik tetapi juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Pembelajaran yang sifatnya kooperatif (cooperative learning) ini muncul ketika siswa bekerja sama untuk mencapai tujuan belajar yang diinginka oleh siswa. Pengelolaan kelas menurut cooperative learning bertujuan membantu siswa untuk mengembangkan niat dan kiat bekerja sama dan berinteraksi dengna siswa yang lain. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas yaitu: pengelompokan, semangat kooperatif dan penataan kelas.
Pengetahuan berjenjang tersebut dapat digambarkan seperti pada skema berikut:Secara singkat teori Peaget dan Vygotsky dapat dikemukakan dalam table berikut ini.
Pembelajaran konstruktivistik dan pembelajaran behavioristik yang dikemukakan oleh Degeng dapat dilihat pada table-tabel berikut:
a)    Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang belajar dan pembelajaran.
Konstruktivistik
Behavioristik
Pengtahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu.
Pengetahuan adalah objektif, pasti, dan tetap , tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi.
Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar adalah menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna seta menghargai ketidakmenentuan.
Belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar.
Si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.
Si belajar akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar itulah yang harus dipahami oleh si belajar.
Mind berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasi peristiwa, objek, atau perspektif yang ada dalam dunia nyata sehingga makna yang dihasilkan bersifat unik dan individualistic.
Fungsi mind adalah menjiplak struktur pengetahuan melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan.

b)   Pandangan Konstruktivistik dan Behavioristik tentang penataan lingkungan belajar
Konstruktivistik
Behavioristik
Ketidakteraturan, ketidakpastian, kesemrawutan,
Keteraturan, kepastian, ketertiban
Si belajar harus bebas. Kebebasan menjadi unsure yang esensial dalam lingkungna belajar.
Si belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dahulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial. Pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin.
Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang perlu dihargai.
Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan keberhasilan atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.
Kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Si belajar adalah subjek yang harus memapu menggunakan kebebasan untuk melakukan pengaturan diri dalam belajar.
Ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Si belajar adalah objek yang harus berperilaku sesuai dengan aturan.
Control belajar dipegang oleh si belajar.
Control belajar dipegang oleh system yang berada di luar diri si belajar.

c)    Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang Tujuan Pembelajaran
Konstruktivistik
Behavioristik
Tujuan pembelajaran ditekankan pada belajar bagaimana belajar (learn how to learn)
Tujuan belajar ditekankan pada penambahan pengetahuan.

d)   Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang strategi pembelajaran
Konstruktivistik
Behavioristik
Penyejian isi menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna mengikuti urutan dari keseluruhan-ke-bagian.
Pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau pandangan si belajar.
Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada data primer dan bahan manipulatif dengan penekanan pada keterampilan berpikir kritis.
Pembelajaran menekankan pada proses.
Penyajian isi menekankan pada keterampilan yang terisolasi dan akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian-ke-keseluruhan.
Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat.
Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks dengan penekanan pada keterampilan mengungkapkan kembali isi buku teks.
Pembelajaran menekankan pada hasil

e)    Pandangan Konstruktivistik dan Behavioristik tentang evaluasi
Konstruktivistik
Behavioristik
Evaluasi menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan keterampilan terintegrasi, dengan menggunakan masalah dalam konsteks nyata.
Evaluasi yang menggali munculnya berpikir divergent, pemecahan ganda, bukan hanya satu jawaban benar
Evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar dengan cara memberikan tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermkana serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata. evaluasi menekankan pad aketerampilan proses dalam kelompok.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan ‘paper and pencil test’
Evaluasi yang menuntu satu jawaban benar. Jawaban benar menunjukkan bahwa si-belajar telah menyelesaikan tugas belajar.
Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasnaya dilakukan setelah kegiatan belajar dengan penekanan pada evaluasi individual.

3.    Rancangan Pembelajaran Konstruktivistik
Berdasarkan teori J. Peaget dan Vygotsky yang telah dikemukakan di atas maka pembelajaran dapat dirancang/didesain model pembelajaran konstruktivis di kelas sebagai berikut:
Pertama, identifikasi prior knowledge dan miskonsepsi. Identifikasi awal terhadap gagasan intuitif yang mereka miliki terhadap lingkungannya dijaring untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan akan munculnya miskonsepsi yang menghinggapi struktur kognitif siswa. Identifikasi ini dilakukan dengan tes awal, interview
Kedua, penyusunan program pembelajaran. Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran.
Ketiga orientasi dan elicitasi, situasi pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan sangatlah perlu diciptakan pada awal-awal pembelajaran untuk membangkitkan minat mereka terhadap topic yang akan dibahas. Siswa dituntun agar mereka mau mengemukakan gagasan intuitifnya sebanyak mungkin tentang gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam lingkungan hidupnya sehari-hari. Oengungkapan gagasan tersebut dapat memalui diskusi, menulis, ilustrasi gambar dan sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut kemudian dipertimbangkan bersama. Suasana pembelajaran dibuat santai dan tidak menakutkan agar siswa tidak khawatir dicemooh dan ditertawakan bila gagasan-gagasannya salah. Guru harus menahan diri untuk tidak menghakiminya. Kebenaran akan gagasan siswa akan terjawab dan terungkap dengan sendirinya melalui penalarannya dalam tahap konflik kognitif.
Keempat, refleksi. Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifat miskonsepsi yang muncul pada tahap orientasi dan elicitasi direflesikan dengan miskonsepsi yang telah dijaring pada tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan tingkat kesalahan dan kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasikannya.
Kelima, resrtukturisasi ide, (a) tantangan, siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-gejala yang kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum. Mereka diminta untuk meramalkan hasil percobaan dan memberikan alas an untuk mendukung ramalannya itu. (b) konflik kognitif dan diskusi kelas. Siswa akan daapt melihat sendiri apakah ramalan mereka benar atau salah. Mereka didorong untuk menguji keyakinan dengan melakukan percobaan. Bila ramalan mereka meleset, mereka akan mengalami konflik kognitif dan mulai tidak puas dengan gagasan mereka. Kemudian mereka didorong untuk memikirkan penjelasan paling sederhana yang dapat menerangkan sebanyak mungkin gejala yang telah mereka lihat. Usaha untuk mencari penjelasan ini dilakukan dengan proses konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau guru yang pada kapasistasnya sebagai fasilitator dan mediator. (c) membangun ulang kerangka konseptual. Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa konsep-konsep yang baru itu memiliki konsistensi internal. Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu memiliki keunggulan dari gagasan yang lama.
Keenam, aplikasi. Menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep ilmiahnya tersebut dalam berbagai macam situasi untuk memecahkan masalah yang instruktif dan kemudia menguji penyelesaian secara empiris. Mereka akan mampu membandingkan secara eksplisit miskonsepsi mereka dengan penjelasa secara keilmuan.
Ketujuh, review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang telah berlangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran. Revisi terhadap strategi pembelajaran dilakukan bila miskonsepsi yang muncul kembali bersifat sangar resisten. Hal ini penting dilakukan agar miskonsepsi yang resisten tersebut tidak selamanya menghinggapi struktur kognitif, yang pada akhirnya akan bermuara pada kesulitan belajar dan rendahnya prestasi siswa bersangkutan.

4.    Prinsip-prinsip dalam pengajaran kontruktivisme
Di dalam pendidikan, ide-ide konstruktivis diterjemahkan sebagai berarti bahwa semua pelajar benar-benar mengkonstruksikan pengetahuan untuk dirinya sendir, dan bukan pengetahuan yang datang dari guru “diserap oleh murid. Ini berarti bahwa setiap murid akan mempelajari sesuatu yang sedikit berbeda dengan pelajaran yang diberikan, dan bahwa sebagai guru kita tidak akan dapat memastikan bahwa murid-murid kita akan belajar karena murid adalah konstruktor pengetahuan aktif yang memiliki sejumlah konsekuensi.
Belajar selalu merupakan sebuah proses aktif. Pelajar secara aktif mengkonstrukikan belajarnya daru berbagai macam input yang diterimanya. Ini menyiratkan bahwa belajar harus bersikap aktif agar dapat belajar secara efektif. belajar adalah tentang membantu murid untuk mengkonstruksikan makna mereka sendiri, bukan tentang “mendapatkan jawaban yang benar” karena dengan cara seperti ini murid dilatih untuk mendapatkan jawaban yang benar tanpa benar-benar memahami konsepnya.
Anak-anak belajar paling baik dengan menyelesaikan berbagai konflik kognitif (konflik dengan berbagai ide dan prakonsepsi lain) melalui pengalaman, refleksi dan metakognisi.
Bagi konstruktivis, belajar adalah pencarian makna. murid secara aktif berusaha mengkonstruksikan makna. Dengan demikian, guru mestinya berusaha mengkonstruksi berbagai kegiatan belajar di seputar ide-ide besar eksplorasi yang memungkinkan murid untuk mengkonstruksi makna.
Elemen lain yang berakar pada fakta bahwa murid secara individual dan kolektif mengkonstruksikan pengetahuan. Agar efektif guru harus memiliki pengetahuan yang baik tentang perkembangan anak dan teori belajar, sehinggga mereka dapat menilai secara akurat belajar seperti apa yang dapat terjadi.
Di samping itu, belajar selalu dikonseptualisasikan. Kita tidak mempelajari fakta-fakta secara abstrak, tetapi sealalu dalam hubungannya dengan apa yang telah kita ketahui.
Belajar secara betul-betul mendalam berarti mengkonstruksikan pengetahuan secara menyeluruh, dengan mengeksplorasi dan menengok kembali materi yang kita pelajari dan bukan dengan cepat pindah satu topik ke topik lain. Murid hanya dapat mengkonstruksikan makna bila mereka dapat melihat keseluruhannya, bukan hanya bagian-bagiannya.
Mengajar adalah tentang memberdayakan pelajar, dan memungkinkan pelajar untuk menemukakan dan melakukan refleksi terhadap pengalaman-pengelaman realistis. Ini akan menghasilkan pembelajaran yang otentik/asli dan pemahaman yang lebih dalam dibandingkan dengan memorisasi permukaan yang sering menjadi ciri pendekatan-pendekatan mengajar lainnya (Von Glaserfelt, 1989). Ini juga membuat kaum konstruktivis percaya bahwa lebih baik menggunakan bahan-bahan hands-on daripada tekxbook.
Sementara itu, Muchith (2008:76) membuat skema perbandingan antara pembelajaran tradisional dan pembelajaran konstruktivistik sebagai berikut:
Pembelajaran tradisional
1.        penyajian kurikukum bersifat induktif (disajikan dari bagian-bagian menuju keseluruhan)
2.        Penyajian kurikulum menggunakan pendekatan deduktif (disajikan melalui keseluruhan menuju bagian-bagian)
3.        Pembelajaran berjalan secara rutinitas, formalitas dan baku. lebih didasarkan pada kurikulum yang bersifat formalistik
4.        Pemebalajaran didesain dalam suasana yang memberikan kebebasan siswa untuk mengekspresikan idea tau gagasannya
5.        Kegiatan kurikuler lebih banyak berorientasi pada buku pegangan/teks yang dimiliki sekolah/guru
6.        Kegiatan kurikuler lebih banyak dikaitkan dengan realitas dalam kehidupan masyarakat. Kegiatan kurikuler atau pembelajaran cenderung menggunakan model kooperatif (kerjasama
7.        Peserta yang belajar lebih dipandang sebagai objek yang tidak memiliki pengetahuan apa-apa. Asumsi ini akhirnya melahirkan pembelajaran hanya sekedar menyampaikan materi kepada siswa. Aspek pemahaman mudah dinafikkan oleh guru
8.        Peserta didik dipahami sebaagi individu yang memiliki potensi untuk mengembangkan materi pelajaran
9.        Penilaian atau tes belajar dipandang sebagai bagian dari proses yang tidak terpisahkan dari pembelajaran dan sering kali dilakukan pada akhir pelajaran dengan cara testing
10.    Penilaian atau tes hasil belajar dilakukan secara progresif dan melalui penilaian karya siswa. Dalam konteks sekarang biasa disebut test fortofolio
11.    Pembelajaran hanya memiliki target menghabiskan materi pelajaran, kurang memperhatikan kualitas pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan
12.    Pembelajaran lebih didasarkan atas proses, sehingga siswa-siswi banyak belajar dan bekerja di dalam kelompok (kolektif).

Selain itu, Brooks, JG et.al (1993) mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, Fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua prinsip di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Dalam kaitannya dengan ini, Funston (1996) lebih spesifik menatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi proses belajar tersebut.
Dalam kaitannya dengan ini juga, Duffy dan Cunningham (1996) mengemukakan sejumlah aspek dalam pembelajaran berdasarkan teori konstruktivis yaitu:
1.    Siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki.
2.    Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswanya mengerti.
3.    Strategi siswa lebih bernilai.
4.    Siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Oleh karena itu, paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuam awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Untuk itu, guru dituntut untuk memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan kemampuannya.

5.    Aplikasi teori konstruktivisme dalam pembelajaran IPS
Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Penerapan siswa didorong untuk mampu mengkonstruksi pengetahuan sendiri melalui pengalaman nyata.
Donald R. (2006: 255) mengutip beberapa pendapat mengenai konstruktivisme sebagai berikut:
Constructivism is defined as teaching that emphasizes the active role of the learner in building understanding and making sense of information (Woolfolk, 2003); learners construction of knowledge as they attempt to make sense of their environment (McCown, driscoll & Roop, 1995); and learning that occurs when learners actively engage in a situation that involves collaboratively formulating questions, explaining phenomenon, addressing complex issues, or solving problems (Gagnon & Colley, 2001).
Konstruktivisme didefinisikan sebagai pengajaran yang menekankan peran aktif pembelajar dalam membangun pemahaman dan membuat makna terhadap informasi (Woolfolk, 2003); para pembelajar konsrtruksi ilmu pengetahuan saat mereka berusaha untuk memberikan makna terhadap lingkungan mereka (McCown, driscoll & Roop, 1995); dan pembelajaran yang terjadi ketika para pembelajar secara aktif terlibat di dalam situasi yang secara kolaboratif meliputi merumuskan masalah, menjelaskan penomena, mengemukakan isu-isu yang kompleks, atau memecahkan masalah (Gagnon & Colley, 2001).
Dengan demikian, Donald mengemukana bahwa “Constructivism is a way of teaching and learning that intends to maximize student understanding”. Maksudnya, kontruktivisme adalah suatu cara dalam pengajaran dan pembelajaran yang tujuannya adalah untuk memaksimalkan pemahaman siswa
Tujuan dari kontruktivisme ini, sebagaimana dikatakatan oleh Donald berikut: “Purpose of constructivist teaching and learning is enable to students to acquire information in ways that make that information most readily understood and usable”. Maksudnya tujuan pengajaran dan pembelajaran konstruktivis adalah memampukan siswa untuk memperoleh informasi dengan cara-cara yang membauat informasi tersebut sangat mudah dipahami dan dapat digunakan.
Untuk menciptakan aktivitas belajar semakin dipahami dan berguna, para penganut konstruktivis telah mengumpulkan sejumlah ide dan membawa mereka bersama untuk membentuk suatu mosaik. Donald, (2006:256) mengungkapkan ide-ide tersebut diantaranya meliputi:
a)    Active learning (when students are directly involved in finding something out for themselves) is preferable to passive learning (when students are recipients of information presented by a teacher).
b)   Learners should engage in “authentic and situated” activities, that is, the tasks they face should be concrete rather than abstract, real versus symbolic.
c)    Learning activities should be interesting and challenging, d) Learners should relate new information to that which they already have through bridging.
d)   Learners should reflect or think about what is being learned (reflection).
e)    Learning takes place best in community learners that is, group or social situation.
f)    Rather than present information to learners, teachers facilitate its acquisition.
g)   Teachers must provide learners with assistance or scaffolding that may be needed for them to progress.
Maksudnya adalah a) pembelajaran aktif (ketika siswa secara langsung terlibat dalam menemukan sesuatu untuk mereka sendiri) adalah cocok untuk pembelajaran yang pasif (ketika siswa adalah penerima informasi yang dipresentasikan oleh guru); b) pembelajar seharusnya terlibat dalam aktivitas yang diciptakan dan nyata, yaitu tugas-tugas yang mereka hadapi seharusnya konkret jika tida abstrak, nyata bukan simbolik; c) aktivitas belajar seharusnya menarik dan menantang; d) pembelajar seharusnya mengaitkan informasi baru dengan informasi yang telah miliki melalui bridging; e) pembelajar seharusnya merefleksikan atau memikirkan apa yang dipelajari; f) pembelajaran terjadi paling baik dalam komunitas pembelajar (leaners community) yaitu kelompok atau situasi social; g) jika bukan memperentasikan informasi kepada pembelajar, guru memfasilitasi penyatuannya; h) guru harus memberikan pembelajar bantuan atau scaffolding yang mungkin dibutuhkan oleh mereka untuk maju.
Dalam kaitannya dengan den IPS, menurut Mukminan, et.al (2002:1), “IPS diartikan sebagai penelaahan masyarakat sesuai tugasnya untuk menelaah masyarakat sesuai dengan segala permasalahannya yang sangat kompleks. Dalam penelaahan harus dilandasi oleh teori-teori sosial yang dapat memperhitungkan proyeksi kehidupan lebih lanjut.
Istilah lain dari IPS adalah social studies. Menurut menurut NCSS bahwa social studies adalah:
…the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program, social studies provides coordinated, systematic study drawing upon such disciplines as anthropology, archeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences.
Pengkajian masalah-masalah sosial merupakan pengkajian realitas yang terjadi di masyarakat secara integrasi dipandang dari berbagai sudut pandang ilmu-ilmu sosial. Oleh karenanya, pendekatan atau strategi pembelajaran yang tepat adalah pembelajaran yang kontekstual yang mana di dalamnya siswa diberikan kesempatan secara aktif untuk mengemukakan pendapat dan pemikirannya berdasarkan pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam kaitanannya dengan itu bahwa teori belajar kontruktivis merupakan teori yang tepat untuk pembelajaran IPS. Dalam pembelajaran IPS, guru bukanlah seorang yang paling tahu segalanya sementara siswa dianggap bodoh akan tetapi guru hanyalah sebagai fasilitator, motivator dan instruktur. Guru memiliki peran untuk mebangkitkan semangan belajar siswa dari pengalaman-pengalaman nyata yang dihadapi dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, dalam pembelajaran IPS seperti yang dikemukakan oleh Donald dapat meciptakan suasana active learning (pembalajaran aktif), authentic and situated activities (aktivitas nyata dan sesuai dengan situasi), interesting and challenging (menarik dan menantang), learning community (belajar bersama/kelompok), facilitating (memfasilitasi) dan scafolding (memberikan bantuan).
Berkaitan dengan ini, Kosasih Djahiri (dalam Mukminan dkk, 2002: 146) berpendapat bahwa dalam pembelajaran IPS perlu memperhatikan prinsip-prinsip berikut:
1.    Belajar adalah hasil dari lingkungan sosial yang bersangkutan melalui pengawasan dan penyesuaian. Tuntutan masyarakat dan budaya melahirkan tuntutan untuk belajar secara terus menerus.
2.    proses bel;ajar dalam masyarakat diperankan oleh berbagai lemabaga (keluarga, masyarakat dan sekolah).
3.    mempelajari IPS diarahkan kepada (a) kebutuhan praktis, (b) kebutuhan yang multidimensi, dan (c) penguasaan hal-hal yang prinsipil dari pada pelajaran tersebut, permasalahan, pendekatan, metode penelaahannya agar dapat ditetapkan dalam mengahadapi hal yang sama.
Pendapat Kosasih di atas mengenai prinsip-prinsip pembelajaran IPS memiliki keterkaitan dengan teori belajar konstruktivis dimana belajar dilakukan berdasarkan realitas sosial yang ada di masyarakat.
Pandangan konstruktivis mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha memberi makna oleh siswa terhadap pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju kepada pembentukan struktur kognitifnya. Proses belajar sebagai usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamnnya melalui proes asimilasi dan akomdasi, akan membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang menuju kepada kemutakhiran struktur kognitifnya. Guru-guru konsytruktivistik yang mengakui dan menghargai dorongan diri manusia/siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, kegaiata pembelajaran yang dilakukannya akan diarahkan agar terjadi aktivitas konstruksi pengetahuan oleh siswa secara optimal. Oleh karena itu, karakteristik yang perlu dilakukan adalah:
1.    Membebaskan siswa dari belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas yang sudah ditetapkan, dan memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide-idenya secara lebih luas
2.    Menempatkan siswa sebagai kekuatan timbulnya interes, untuk membuat hubungan di antara ide-ide atau gagasannya, kemudian memformulasikan kembali ide-ide tersebut, kemudian membuat kesimpulan-kesimpulan
3.    Guru bersama-sama dengan siswa mengkaji pesan-pesan penting bahwa dunia adalah kompleks, di mana terdapat bermacam-macam pandanagan tentang kebenaran yang datangnya dari berbagai innterpretasi
4.    guru mengakui bahwa proses belajar serta penilaiannya merupakan suatu usaha yang komoleks, sukar dipahami, tidak teratur.



BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Behaviorisme adalah teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur, diamati dan dihasilkan oleh respons pelajar terhadap rangsangan. Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon. Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka
Pandangan konstruktivis mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha memberi makna oleh siswa terhadap pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju kepada pembentukan struktur kognitifnya.

B.     Saran
Dalam proses belajar pembelajaran sering kali siswa merasa bosan dengan tingkah laku seorag guru yang kebiasaan menerapkan metode ceramah tanpa ada bantuan metode lain seperti alat peraga atau diskusi. Seorang guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Siswa harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak. Dan seorang guru sebaiknya lebih peka terhadap siswa supaya proses belajar pembelajaran berjalan dengan baik. Sehingga siswa lebih respek dalam mengikuti pelajaran dan siswa pun menyenangi guru tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

Translate

Pages - Menu